Kamis, 14 November 2013

Pembicaraan di Meja Makan

Keluarga yang selalu bisa berkumpul saat jam makan, adalah keluarga yang keren dan beruntung. Saya termasuk jarang makan bareng bersama keluarga di meja makan, tentu saja karena rutinitas masing – masing. Ketika penempatan pengajar muda ini, hampir setiap jam makan, keluarga disini selalu makan bersama. Ini sesuatu yang baru untuk saya.
Saat makan bersama, banyak hal yang dibicarakan. Kadang bicara dalam bahasa Mandar, tapi sering juga menggunakan bahasa Indonesia.
Kalo menggunakan bahasa Mandar, tentu tidak sepenuhnya saya bisa mengikuti pembicaraan, karena saya tidak terlalu menguasai bahasa Mandar. Tapi dari ekspresi wajah, dan beberapa kosakata dalam pembicaraan yang sudah saya tahu, saya bisa menebak – nebak apa yang dibicarakan oleh Keluarga Pak Syaaban ini, keluarga angkat saya di Majene. Di rumah ini, ada 5 anggota keluarga, Pak Syaaban, istrinya dan 2 anak, Nisa, Heri lalu..tentu saja saya, kan sekarang saya juga sudah merupakan bagian dari keluarga mereka. Heri paling sering bercerita duluan. Dia cerita tentang kejadian paling menarik di sekolah, teman – temannya, PRnya. Kalo Nisa, yang masih TK, cerita tentang sahabat – sahabatnya yang biasa bareng ke sekolah atau guru – gurunya. Ibu dan Bapak menanggapi cerita mereka, mereka bertanya dan menanggapi.
Proses komunikasi ini, sudah baik dan sudah sebagaimana seharusnya. Anak bercerita, orang tua menanggapi. Tapi butuh lebih dari itu. Orang tua perlu mentransfer motivasi, harapan dan keinginannya pada anak. Bukan dengan tujuan, memaksa anak menyesuaikan diri dengan apa yang orang tua inginkan, tapi membuat anak tahu apa yang diharapkan orang tua darinya. Teman – teman saya sering mengeluh, bahwa mereka tidak tahu apa maunya orang tua mereka, setiap saat mereka hanya menerima perintah untuk ini dan itu. Mereka merasa tidak bebas untuk berekspresi dan menurut mereka, selalu saja hanya datang kritik dari orang tua ketika kebetulan melakukan hal yang (menurut orang tua mereka) salah. Sebaliknya, ketika melakukan hal yang baik pun, mereka tidak pernah mendapatkan reward berupa pujian, tepuk tangan atau sejenisnya.
Sebagai orang komunikasi yang sedang mendalami tentang human development, saya merasakan pentingnya proses komunikasi yang cerdas dan berkualitas dalam pembangunan karakter, terutama karakter anak. Membaca buku ‘Ibuk’nya Iwan Setyawan, saya menemukan contoh komunikasi yang cerdas dan berkualitas dari ibu ke anaknya. Seperti cara komunikasi dari Mama ke saya. Polanya adalah repetisi yang konsisten. Mereka berbicara tentang gambaran masa depan, apa yan menjadi harapan mereka, bagaiamana seharusnya menjadi seorang anak dan sharing tentang pembagian tanggung jawab.
Sharing tentang pembagian tanggung jawab? Begini, sejak SD, Mama selalu bilang “Tugas orang tua, seperti mama adalah cari uang, untuk membiayai kamu sekolah sampai kamu kuliah. Mama juga akan selalu berdoa untuk kamu. Seperti kamu lihat, Mama selalu sudah mulai bekerja jam 5 pagi dan baru pulang jam 9 malam. Tugasmu adalah belajar dan menjadi anak yang tanggung jawab. Kamu rajin sekolah, patuh sama orang tua, jadi contoh untuk adikmu. Kita harus sama – sama selalu semangat, pantang menyerah dan berdoa memohon kesuksesan dari Allah.”
Begitulah cara komunikasi Mama ke saya, saya jadi paham tentan peran saya sebagai anak dan bagaimana menjalani peran itu dengan baik. Saya tidak pernah bertanya – tanya tentang apa yang dilakukan orang tua. Dan yang jelas, dengan sendirinya tanggung jawab serta motivasi itu jadi muncul dari dalam diri saya sendiri. Proses komunikasi ini, Alhamduillah membuat saya tidak pernah berselisih paham dengan Mama. Sounds easy? It is. Tapi, mendampingi anak dengan komunikatif dan konsisten repetisi itu, dalam prakteknya, not easy, hehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar